Selasa, 28 Juni 2011

Odha

Pada sebuah seminar di sebuah sekoalh di Bogor, salah satu pemberi materi bertanya kepada para peserta seminar, menurut kalian, diantara dua orang ini, yang mana yang mengidap HIV/AIDS? Terdapat dua gambar, gambar pertama adalah seorang laki-laki sedang melakukan aktivitas cheer leader dan memiliki ekspresi hampir seperti wanita, yang kedua adalah seorang kakek tua, dengan beberapa tatto, sedang memegang gitar layaknya seorang artis rock n’ roll.

Jawaban dari para peserta, hampir seluruhnya menunjuk laki-laki yang sedang melakukan cheer leader dengan ekspresi wajah seperti wanita sebagai seseorang yang mengidap HIV/AIDS.


Tapi, apakah benar seperti itu?

Kebanyakan masyarakat memiliki sebuah pandangan, bahwa hal-hal yang berkaitan dengan HIV/AIDS, akan selalu berkaitan dengan hal-hal yang menyimpang, contoh saja orang-orang transsexsual, homosexsual, orang-orang dengan pacaran yang tidak sehat, dan hal-hal lainnya.

Kenyataannya? Banyak beberapa dari mereka memiliki kehidupan yang bahagia dengan “penyimpangan” tersebut, dan mereka bebas dari HIV/AIDS. Tetapi, hal buruknya adalah, mereka kerap ditindas, didiskriminasi, karena mereka dianggap berbeda, sehingga mereka memiliki penyakit-penyakit tambahan lainnya (kebanyakan orang menganggap penyimpangan tersebut sebagai suatu penyakit) yaitu HIV/AIDS, atau penyakit seksual lainnya.

Don’t judge the book by its cover. Hal itulah yang seharusnya kita pikirkan dalam menghadapi permasalahn seperti ini. OdhA atau “Orang dengan HIV/AIDS” akan terlihat biasa-biasa saja di kehidupan sehari-hari, tidak ada yang bisa membedakan mereka. Saya mendapatkan kesimpulan seperti ini karena sebuah pengalaman yang NYATA.

Waktu itu, hari Rabu, dan saat itu saya beserta teman-teman dari YPI melakukan penyuluhan di sebuah sekolah di Jakarta, pada perjalanan pulang, beberapa teman-teman yang satu mobil bersama saya bercerita tentang efek samping dari obat HIV/AIDS. Setelah itu, salah seorang dari tim bercerita,”Iya, saya waktu pakai obat itu juga mengalami hal yang sama, untung segera ditangani, kalau nggak mungkin saya sudah meninggal.” Ternyata, selama hampir 4 jam kami melakukan penyuluhan, saya sudah berinteraksi dengan seseorang yang memiliki HIV positif, toh mereka biasa-biasa saja, dan hal yang dahsyatnya, mereka menjadi seseorang yang ikut MELAKUKAN penyuluhan bersama-sama dengan kami. Membantu mencegah PENYEBARAN HIV/AIDS. Dahsyat bukan?

Orang dengan HIV/AIDS kerap di diskirimansikan secara nyata, mereka sangat sulit mendapatkan pekerjaan, karena kerap diselipkan formulir asuransi yang mana apabila pada formulir itu kita mencentang kolom memiliki HIV/AIDS maka asuransi akan menolak karena tidak mau membantu biaya pengobatan, dan perusahaan otomatis tidak akan menerima. Dan apabila mereka ketahuan? Mereka mungkin saja akan dipecat, dikucilkan dalam tim, dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya. Hasilnya? Mereka menggelandang, bahkan untuk meneruskan pengobatan yang harganya hanya Rp. 30.000,- tiap bulan saja mereka mungkin tidak mampu.

Hal selanjutnya? Mereka menjadi depresi karena tidak ada yang mau menolong, dan mereka memutuskan untuk bunuh diri, padahal dengan pengobatan nyawa mereka masih dapat diperjuangkan untuk 10-15 tahun ke depan apabila Tuhan mengkehendaki.

Berbicara kembali tentang orang-orang dengan HIV/AIDS, saya sangat bangga dengan mereka yang memiliki penyakit ini, didiskriminasi di masyarakat, tapi tetap memperjuangkan hidup mereka, mencari nafkah untuk keluarga mereka, merawat anak-anak mereka, bahkan menjadi orang-orang yang memotivasi orang-orang yang belum terkena HIV/AIDS untuk memiliki sebuah gaya hidup sehat sehingga mereka boleh lepas dari HIV/AIDS.

Sebut saja Magic Johnson, seorang pebola basket terkenal, legenda hidup L.A. Lakers, di diagnosis dengan HIV/AIDS dan memaksa dia harus pensiun dari ajang olahraga basket terkenal dunia, NBA. Selama 20 tahun ia berjuang, dan dia berhasil hidup hingga sekarang, dan saat kita melihat dia, bagaimana dia terlihat? Bagi saya dia tetap gagah dengan setelan jas-nya saat menghadiri pertandingan L.A. Lakers, memiliki bisnis yang dahsyat, dan dia menunjukan komitmen dia untuk terus berjuang melawan HIV/AIDS dan mengajak semua orang untuk terlibat di dalamnya.

Saya bertanya kepada salah satu pasien di klinik YPI, “Apa tantangan terberat anda saat anda memiliki HIV/AIDS di masyarakat?” Pasien tersebut menjawab,”Dengan kondisi saya yang mana virus HIV ini sendiri sudah tidak terdeteksi setelah 5 tahun pengobatan, saya masih harus tetap berjuang agar orang-orang disekitar saya tidak tahu bahwa saya HIV positif. Karena saat mereka tahu saya adalah seorang HIV positif, mereka tidak akan segan untuk membuang dan mentelantarkan saya…”

Jawaban yang menyakitkan, jawaban yang menggetarkan hati, bahkan untuk berfoto bersama dengan saya pun, pasien tersebut menolak. Karena takut di sebar-luaskan dan mungkin ada beberapa dari mereka yang mengenal pasien.

Sebuah pengalaman yang menarik bertemu, berbincang dengan mereka yang memiliki HIV/AIDS, dan sebuah kebanggan melihat mereka berjuang bersama dengan diri mereka sendiri melawan penyakit yang merek derita, tetapi selain itu juga, mengajak masyarakat yang menekan mereka untuk mau bersama-sama mencegah penyebaran dari HIV/AIDS itu sendiri.

Seharusnya kita mencontoh mereka bukan?

Tidak ada komentar: