Selasa, 28 Juni 2011

Abandon

Minggu kedua saya di tempat ini berakhir dengan berkunjung ke suatu sanggar, tempat para teman-teman HIV/AIDS berkumpul dan terkadang mungkin tinggal untuk sementara sambil menjalani pengobatan. Tempatnya besar, luas untuk 2 hingga 3 keluarga tinggal disana, terdapat perpustakaan, halaman kecil disekitarnya.

Terletak di dalam gang yang kecil di sekitar Tebet, membuat tempat ini jauh dari keramaian warga-warga sekitar. Bersama dengan ibu Atik, saya memamsuki, melihat di dalamnya karya-karya teman-teman kami, yang di simpan rapi dalam satu lemari kaca. Tidak lupa beberapa macam piala yang menghiasi bagian atas lemari.

Sebuah sejarah menarik saya dengar sesaat sebelum mencapai sanggar. Pada mulanya ini adalah tempat bagi mereka teman-teman dengan HIV/AIDS yang dibuang oleh keluarga mereka, tidak diterima, tidak tahu harus kemana. Berbekal tiga buah kamar yang cukup besar untuk menampung sekitar 10-20 orang, tempat ini menjadi sebuah “rumah” yang diidam-idamkan oleh mereka yang terbuang.

Selain sebagai penampungan, disini mereka yang memiliki penyakit “spesial” tersebut, menjalani pengobatan secara medis dan secara mental, potensi mereka dibentuk, pola pikir mereka diasah lebih, memampukan mereka untuk bisa bersaing di masyarakat, dan melawan pemikiran-pemikiran yang terkadang menyakitkan untuk teman-teman dengan HIV/AIDS.

Pengembangan diri dan penyembuhan untuk masa depan yang lebih baik, sebuah tempat kecil untuk mereka yang dibuang dari masyarakat, tidak ada tempat yang lebih baik dari pada sanggar ini. Selain itu pula, ini adalah tempat untuk belajar, bagi para teman-teman HIV/AIDS dan para keluarga yang mungkin ingin melihat bagaimana pengobatan berjalan, dan membiasakan mereka hidup bersama-sama, agar mereka dapat merawat anggota keluarga mereka yang memiliki penyakit ini.

Dalam pengasahan dan pengembangan itu pun dibutuhkan para fasilitator yang juga merupakan pekerja sosial dari beberapa orang yang menyempatkan waktu mereka untuk boleh menjaga dan merawat mereka yang dibuang. Dan diantara mereka ada pula yang ternyata HIV+ dan mendedikasikan hidupnya untuk melawat teman-teman yang lain, dan berjuang bersama melawan kerasnya kehidupan.

Dunia memang kejam, untuk beberapa hal yang sifatnya merugikan, dunia tidak segan untuk membuang mereka, menghilangkan eksistensi mereka. Pola pikir yang hanya menguntungkan diri sendiri. Rasionalkah pemikiran seperti itu? Rasional menurut saya, tetapi bukankah sebagai sesama insan manusia dan sebagai manusia ciptaan Yang Maha Esa, kita harus saling menolong dan mengasihi satu sama lain? Bukan membuang sesama kan?

Odha

Pada sebuah seminar di sebuah sekoalh di Bogor, salah satu pemberi materi bertanya kepada para peserta seminar, menurut kalian, diantara dua orang ini, yang mana yang mengidap HIV/AIDS? Terdapat dua gambar, gambar pertama adalah seorang laki-laki sedang melakukan aktivitas cheer leader dan memiliki ekspresi hampir seperti wanita, yang kedua adalah seorang kakek tua, dengan beberapa tatto, sedang memegang gitar layaknya seorang artis rock n’ roll.

Jawaban dari para peserta, hampir seluruhnya menunjuk laki-laki yang sedang melakukan cheer leader dengan ekspresi wajah seperti wanita sebagai seseorang yang mengidap HIV/AIDS.


Tapi, apakah benar seperti itu?

Kebanyakan masyarakat memiliki sebuah pandangan, bahwa hal-hal yang berkaitan dengan HIV/AIDS, akan selalu berkaitan dengan hal-hal yang menyimpang, contoh saja orang-orang transsexsual, homosexsual, orang-orang dengan pacaran yang tidak sehat, dan hal-hal lainnya.

Kenyataannya? Banyak beberapa dari mereka memiliki kehidupan yang bahagia dengan “penyimpangan” tersebut, dan mereka bebas dari HIV/AIDS. Tetapi, hal buruknya adalah, mereka kerap ditindas, didiskriminasi, karena mereka dianggap berbeda, sehingga mereka memiliki penyakit-penyakit tambahan lainnya (kebanyakan orang menganggap penyimpangan tersebut sebagai suatu penyakit) yaitu HIV/AIDS, atau penyakit seksual lainnya.

Don’t judge the book by its cover. Hal itulah yang seharusnya kita pikirkan dalam menghadapi permasalahn seperti ini. OdhA atau “Orang dengan HIV/AIDS” akan terlihat biasa-biasa saja di kehidupan sehari-hari, tidak ada yang bisa membedakan mereka. Saya mendapatkan kesimpulan seperti ini karena sebuah pengalaman yang NYATA.

Waktu itu, hari Rabu, dan saat itu saya beserta teman-teman dari YPI melakukan penyuluhan di sebuah sekolah di Jakarta, pada perjalanan pulang, beberapa teman-teman yang satu mobil bersama saya bercerita tentang efek samping dari obat HIV/AIDS. Setelah itu, salah seorang dari tim bercerita,”Iya, saya waktu pakai obat itu juga mengalami hal yang sama, untung segera ditangani, kalau nggak mungkin saya sudah meninggal.” Ternyata, selama hampir 4 jam kami melakukan penyuluhan, saya sudah berinteraksi dengan seseorang yang memiliki HIV positif, toh mereka biasa-biasa saja, dan hal yang dahsyatnya, mereka menjadi seseorang yang ikut MELAKUKAN penyuluhan bersama-sama dengan kami. Membantu mencegah PENYEBARAN HIV/AIDS. Dahsyat bukan?

Orang dengan HIV/AIDS kerap di diskirimansikan secara nyata, mereka sangat sulit mendapatkan pekerjaan, karena kerap diselipkan formulir asuransi yang mana apabila pada formulir itu kita mencentang kolom memiliki HIV/AIDS maka asuransi akan menolak karena tidak mau membantu biaya pengobatan, dan perusahaan otomatis tidak akan menerima. Dan apabila mereka ketahuan? Mereka mungkin saja akan dipecat, dikucilkan dalam tim, dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya. Hasilnya? Mereka menggelandang, bahkan untuk meneruskan pengobatan yang harganya hanya Rp. 30.000,- tiap bulan saja mereka mungkin tidak mampu.

Hal selanjutnya? Mereka menjadi depresi karena tidak ada yang mau menolong, dan mereka memutuskan untuk bunuh diri, padahal dengan pengobatan nyawa mereka masih dapat diperjuangkan untuk 10-15 tahun ke depan apabila Tuhan mengkehendaki.

Berbicara kembali tentang orang-orang dengan HIV/AIDS, saya sangat bangga dengan mereka yang memiliki penyakit ini, didiskriminasi di masyarakat, tapi tetap memperjuangkan hidup mereka, mencari nafkah untuk keluarga mereka, merawat anak-anak mereka, bahkan menjadi orang-orang yang memotivasi orang-orang yang belum terkena HIV/AIDS untuk memiliki sebuah gaya hidup sehat sehingga mereka boleh lepas dari HIV/AIDS.

Sebut saja Magic Johnson, seorang pebola basket terkenal, legenda hidup L.A. Lakers, di diagnosis dengan HIV/AIDS dan memaksa dia harus pensiun dari ajang olahraga basket terkenal dunia, NBA. Selama 20 tahun ia berjuang, dan dia berhasil hidup hingga sekarang, dan saat kita melihat dia, bagaimana dia terlihat? Bagi saya dia tetap gagah dengan setelan jas-nya saat menghadiri pertandingan L.A. Lakers, memiliki bisnis yang dahsyat, dan dia menunjukan komitmen dia untuk terus berjuang melawan HIV/AIDS dan mengajak semua orang untuk terlibat di dalamnya.

Saya bertanya kepada salah satu pasien di klinik YPI, “Apa tantangan terberat anda saat anda memiliki HIV/AIDS di masyarakat?” Pasien tersebut menjawab,”Dengan kondisi saya yang mana virus HIV ini sendiri sudah tidak terdeteksi setelah 5 tahun pengobatan, saya masih harus tetap berjuang agar orang-orang disekitar saya tidak tahu bahwa saya HIV positif. Karena saat mereka tahu saya adalah seorang HIV positif, mereka tidak akan segan untuk membuang dan mentelantarkan saya…”

Jawaban yang menyakitkan, jawaban yang menggetarkan hati, bahkan untuk berfoto bersama dengan saya pun, pasien tersebut menolak. Karena takut di sebar-luaskan dan mungkin ada beberapa dari mereka yang mengenal pasien.

Sebuah pengalaman yang menarik bertemu, berbincang dengan mereka yang memiliki HIV/AIDS, dan sebuah kebanggan melihat mereka berjuang bersama dengan diri mereka sendiri melawan penyakit yang merek derita, tetapi selain itu juga, mengajak masyarakat yang menekan mereka untuk mau bersama-sama mencegah penyebaran dari HIV/AIDS itu sendiri.

Seharusnya kita mencontoh mereka bukan?

Senin, 27 Juni 2011

Stigma

Sembilan belas tahun saya menjalani kehidupan, sembilan belas tahun melihat begitu banyak manusia, dan akhirnya saya melihat beberapa hal yang menarik dari sifat manusia.

Sifat, adalah sesuatu yang melekat, yang apabila terus menerus dilakukan akan menjadi sebuah kebiasaan dan karakter. Hal ini toh hanya akan mengatakan, sifat adalah sesuatu yang dapat dirubah.

Salah satu yang menarik dari sifat manusia adalah, hal yang baik akan kita kenang, tetapi hal yang buruk, akan melekat menjadi sebuah “stigma” yang membunuh kita perlahan. Membunuh, stigma menjadi sebuah tekanan yang mematikan bagi beberapa manusia. Beberapa melihat stigma sebagai sesuatu yang menjijikan, dan tidak pantas untuk dimiliki.

Bentuk dari stigma dapat bermacam-macam, salah satunya adalah penyakit. Penyakit yang satu ini menarik, baru timbul pada awal tahun 80-an, kita kenal dia dengan HIV/AIDS.

Penyakit yang satu ini, dianggap penyakit menyeramkan, karena tidak dapat disembuhkan, tetapi hal lain yang membuat penyakit ini menjadi suatu stigma, adalah karena transimisinya lewat hubungan sexs yang tidak aman, jarum suntik dan darah, serta plasenta. Permasalahannya adalah, hubungan sexs yang tidak aman terjadi paling sering pada pekerja seks komersial dan pria pria haus nafsu akan wanita, jarum suntik pada pengguna narkoba, dan plasenta pada ibu yang memiiki aids dan mengenai anaknya.

Penularannya terlihat seolah mudah, toh, penelitian jelas mengatakan hanya empat jalur ini saja yang dapat menularkan, tetapi masyarakat, hampir seluruhnya melihat sebagai penyakit yang mudah ditularkan, mengapa kanker ditakuti tetapi orang yang memiliki hal ini, masyarakat sekitar masih memberikan simpati dan dorongan? Sedangkan orang dengan HIV/AIDS? Simpati? Jangankan simpati, orang melihat mereka yang memiliki HIV/AIDS sebagai sesuatu yang menjijikan dan berbahaya? Dorongan? Simpati saja tidak ada, bagaimana untuk memberikan sebuah dorongan?

Hal baiknya adalah, itu tidak terjadi pada seluruh manusia, kita diberikan hati nurani, sebuah rasa empati dan kemampuan untuk boleh melihat dari sudut yang pandang yang berbeda.

Liburan kali ini ku isi dengan sebuah kegiatan untuk melihat dari sisi lain tersebut, melihat dari sisi seseorang dengan HIV/AIDS menghadapi kenyataan bahwa mereka ditekan dengan hal yang mereka punya, bagaimana mereka menghadapi hal tersebut, dan bagaimana melihat sisi lain orang-orang yang membagikan waktu, tenaga untuk memberikan dorongan, simpati, pengobatan.

And I have seen it in my first week, at Yayasan Pelita Ilmu. Still another three weeks in here, and will be a great experience

Rabu, 15 Juni 2011

HIV/AIDS



In the next two-three days, I will posted some mini journal for HIV/AIDS activity that I've been working for two weeks.

The concept will be four to five article and the last one simple documentation video that I really want to used it for social stuff, and campaign fighting HIV/AIDS

Reduce the Stigma, Encourage the People, and Fight the Disease!! and Especially thanks to YPI for giving me the opportunity to have a volunteering
work for one month!