Senin, 18 Juli 2011

Help?

Berikan dengan ikhlas, hati yang tulus, tanpa mengharapkan imbalan. Itulah sebuah kalimat yang selalu kita ingat saat pelajaran kewarganegaraan diajarkan kepada setiap kita atau saat orang tua kita mengajarkan kita tentang memberi, menolong sesama kita.

Menolong menjadi satu kata yang terus menerus dikumandangkan dari kecil, satu perbuatan yang telah dititipkan dari Tuhan untuk diajarkan kepada kita lewat orang tua, guru, dan orang-orang bijak lainnya.

Seiring berkembangnya waktu, dan seiring berjalannya tahun dan perkembangan otak setiap orang, satu kata ini pun akhirnya tidak lagi bekerja sesuai artinya. Tolonglah tanpa rasa pamrih. Jangan pernah mengharapkan imbalan. Toh, ternyata entah lingkungan, atau waktu, atau perkembangan otak kita membuat kita memperhitungkan segalanya.

Perhitungan, itulah satu kata yang telah merasuki otak kita, terutama perhitungan akan uang dan harta. Yang mana telah menjadi satu kriteria penting untuk boleh menikmati hidup. Apakah tanpa uang dan harta kita tidak dapat menjadi seseorang yang bisa menikmati hidup?

Pekerjaan adalah sesuatu yang diburu oleh setiap orang yang masih produktif, bahkan di Singapura, para lansia masih dapat bekerja dengan menjadi tukang sapu, atau menjaga counter cashier makanan, salah seorang teman dari Singapura mengatakan itu mereka lakukan untuk mengisi waktu luang mereka yang relatif membosankan. Gaya kehidupan orang Singapura untuk terus bekerja membentu mereka seperti itu. Bayaran? Kecil mungkin, tapi mereka merasakan makna hidup mereka.

Begitu pula layaknya Lembaga Swadaya Masyarakat yang ada di Indonesia ini, hidup dari sokongan yayasan lain atau dari orang-orang yang memiliki penghasilan lebih dan membentuk LSM ini. Pertanyaannya bagaimana dengan orang-orang didalamnya? Adakah mereka yang mau mengabdi? Dengan tidak mengharapkan bayaran yang lebih dan harus bekerja mungkin lebih lama dari mereka yang bekerja di kantor-kantor…

Mungkin, mereka juga sudah memperhitungkan hal ini. Tetapi, ada satu hal yang saya percaya bahwa ada orang-orang yang di dalam LSM ini, mengabdikan hidup mereka dari LSM ini pertama dibentuk hingga sekarang. Saya yang mendapat kesempatan untuk boleh menjadi pekerja sosial tambahan, diberi kesempatan lebih untuk boleh membagikan apa yang saya miliki bersama LSM ini yaitu Yayasan Pelita Ilmu. Bahkan saya tidak diikat dengan jam-jam saya harus masuk jam sekian, pulang jam sekian, saya bebas berada di klinik dari jam berapa-pun, mengikuti seluruh program yang ada dari klinik dan LSM ini.

Satu bulan telah saya tempuh tepat pada hari ini. Dan saya tidak akan lagi berada di tempat ini untuk beberapa saat, saya akan merasakan kehilangan dengan teman-teman pekerja sosial lain, yang memiliki pekerjaan tetap tetapi masih memberikan waktu mereka untuk boleh terlibat dalam LSM ini dalam melawan HIV/AIDS, disamping saya yang mahasiswa kedokteran ini, ada teman-teman yang profesi-nya seorang guru, seorang fotografer, seorang event organizer, seorang MC PRJ kemayoran, seoarng penjaga gerbang tol, bagi mereka mungkin itu pekerjaan yang harus mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, tetapi mereka membagikan waktu mereka yang sedikit yang bebas tersebut untuk boleh membantu LSM ini melawan HIV/AIDS.

Ini memang penyakit yang sudah ada obat-nya, obat yang dapat memperpanjang nyawa hingga 10-15 tahun apabila diminum teratur dengan biaya administrasi hanya tiga puluh ribu rupiah, karena obat ini sudah gratis, tetapi toh ternyata masih banyak diantara mereka yang masih tidak mengerti akan penyakit ini. Bersyukur ada orang-orang seperti mereka yang memberikan waktu dan tidak mengharapkan imbalan untuk datang ke setiap sekolah setiap pagi untuk membagikan informasi, dan saat siang hari hingga sore mengurus hal-hal untuk program selanjutnya dan pada sore, sekitar jam tiga harus tetap menjaga klinik hingga para dokter selesai memberikan pengobatan kepada para teman-teman dengan HIV +

Sebuah perjuangan? Tentu, apakah mereka mengharapkan sesuatu? Tidak tentunya. Lalu bagaimana dengan kita? Apakah kita akan tetap mengatakan dan melakukan “tolonglah tanpa rasa pamrih” sesaat orang disekitar kita meminta tolong? Dan sekedar informasi, LSM ini tidak mempublikasikan diri mereka agar ada orang yang mau membantu. Para orang-orang yang membantu disini, adalah orang-orang yang murni membantu dengan menawarkan diri mereka.

Lalu, kalau mereka sudah bisa dan mampu menawarkan diri mereka untuk membantu tanpa menghitung-hitung. Bagaimana dengan kita?

Passion for Living

Melihat hasil pemeriksaan anda, kemungkinan besar umur anda tinggal 6 hingga 12 bulan lagi. Penyakit ini telah menyebar dan kecil kemungkinan untuk sembuh. Kami sudah memaksimalkan seluruh upaya pengobatan tapi hingga saat ini belum ada hasil yang memuaskan.

Segala sesuatu di dunia ini terbatas, percayalah, bahkan dunia kedokteran pun memiliki batas, dunia bisnis pun memiliki batas, dunia kerja pun juga sama. Begitu pula dengan kehidupan kita, kita terbatas oleh kemampuan, dan umur kita pun juga terbatas tergantung kuasa Sang Pencipta atas kita.

Itulah dunia dengan segala keterbatasannya, permasalahannya batasan “keterbatasan” tersebut terkadang masih bisa di pernpanjang hingga paling maksimal. Layaknya umur, umur manusia memang terbatas, tetapi bagaimana kita menghidupi hidup kita ini menentukan seberapa panjang batas kehidupan kita.

Itulah titik yang menarik yang akan saya ceritakan, pengalaman saya bersama dengan orang-orang yang divonis dengan penyakit-penyakit mematikan, tetapi berhasil memperpanjang titik kehidupan mereka hingga paling maksimal, dan menyatakan saya telah menjalani kehidupan ini dengan baik.

Sering sekali kita menyatakan dokter tidak berkompeten karena memvonis hidup-mati seseorang, kenyataannya, mereka hanya tidak memiliki skill komunikasi yang lebih halus, padahal memvonis umur anda tinggal “sekian” bulan itu diambil dari sebuah kenyataan, “kebanyakan” orang meninggal setelah “sekian” bulan tersebut. “Kebanyakan” bukan berarti semua orang dengan penyakit “X” tersebut meninggal setelah “sekian” bulan tersebut.

Tetapi percayalah, walaupun hidup mati seseorang ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan tentu melihat perjuangan kita dalam hidup ini, bagi mereka yang mengerti mengapa mereka harus berjuang di dalam penderitaan, dan melawan kematian. Mereka akan mengetahui makna yang sesungguhnya, dan mampu memuliakan Tuhan yang telah menciptakan mereka lewat kehidupan mereka yang berat tersebut.

Sepintar-pintarnya dokter memberikan sebuah pengobatan, tidak akan pernah menjamin kesembuhan seseorang, bagi mereka yang berjuang dan mau melawan kerasnya kehidupan dan penderitaan, mereka bisa menembus batas-batas yang diciptakan oleh manusia, dan mencapai potensi maksimal mereka. Orang-orang seperti itulah yang sepatutnya menjadi panutan dalam kehidupan kita bukan?

Di klinik ini, saya menemukan begitu banyak orang yang bisa bertahan hidup, mencapai titik potensi maksimal dalam kehidupan mereka, berjuang, menghancurkan tembok penghalang yang ada di depan mata mereka. Saya bertemu dengan seseorang yang di vonis, dengan kanker kulit hasil dari HIV/AIDS dan mereka hanya bisa bertahan selama 6 bulan. Buktinya, semangat juang mereka dalam pengobatan memperpanjangang nyawanya hingga 5 tahun lagi. Sebuah perpanjangan batasan yang sangat dahsyat bukan? Atau cerita lain lagi, saat seseorang anak berumur 12 tahun dengan hemofilia di vonis dengan HIV/AIDS pada awal tahun 1980-an saat HIV/AIDS masih baru ditemukan dan masih dalam tahap pengembangan dan tidak ada pengobatan seperti zaman sekarang ini, dia di vonis kehidupannya tinggal 6 bulan lagi. Dia dikucilkan, tetapi di sisa kehidupan yang minim usaha pengobatan tersebut, ia bertahan selama 5 tahun, memberikan badan dia untuk sebagai bahan penelitian, berkampanye di seluruh Amerika tentang bahaya HIV/AIDS, dan meninggal tepat setelah ia lulus SMA pada umur 17 tahun yang hasilnya telah dia kecap sekarang. Hasil penelitian tersebut membuahkan sebuah pengobatan terbaru untuk HIV/AIDS, yang apabila pengobatan tersebut dilakukan dengan teratur, dapat memperpanjang kehidupan seseorang hingga 10-15 tahun, dan 20 tahun kalau dibarengi dengan kehidupan yang sehat.

Kita memang terbatas, tapi bukan berarti batasan tersebut menutup kita bukan? Setiap orang yang memperjuangkan hidup mereka lebih dari orang lain, they deserve more, right? Dan saya percaya, Tuhan adalah Tuhan yang adil, karena Dia adalah Tuhan, dan dia memberikan rewards tersebut kepada mereka yang memperjuangkan hidup mereka lebih dari orang lain. Karena Dia adil, dan selalu akan adil. Asal kita percaya dan mau menyanggupi setiap beban yang ada di pundak kita.

Selasa, 28 Juni 2011

Abandon

Minggu kedua saya di tempat ini berakhir dengan berkunjung ke suatu sanggar, tempat para teman-teman HIV/AIDS berkumpul dan terkadang mungkin tinggal untuk sementara sambil menjalani pengobatan. Tempatnya besar, luas untuk 2 hingga 3 keluarga tinggal disana, terdapat perpustakaan, halaman kecil disekitarnya.

Terletak di dalam gang yang kecil di sekitar Tebet, membuat tempat ini jauh dari keramaian warga-warga sekitar. Bersama dengan ibu Atik, saya memamsuki, melihat di dalamnya karya-karya teman-teman kami, yang di simpan rapi dalam satu lemari kaca. Tidak lupa beberapa macam piala yang menghiasi bagian atas lemari.

Sebuah sejarah menarik saya dengar sesaat sebelum mencapai sanggar. Pada mulanya ini adalah tempat bagi mereka teman-teman dengan HIV/AIDS yang dibuang oleh keluarga mereka, tidak diterima, tidak tahu harus kemana. Berbekal tiga buah kamar yang cukup besar untuk menampung sekitar 10-20 orang, tempat ini menjadi sebuah “rumah” yang diidam-idamkan oleh mereka yang terbuang.

Selain sebagai penampungan, disini mereka yang memiliki penyakit “spesial” tersebut, menjalani pengobatan secara medis dan secara mental, potensi mereka dibentuk, pola pikir mereka diasah lebih, memampukan mereka untuk bisa bersaing di masyarakat, dan melawan pemikiran-pemikiran yang terkadang menyakitkan untuk teman-teman dengan HIV/AIDS.

Pengembangan diri dan penyembuhan untuk masa depan yang lebih baik, sebuah tempat kecil untuk mereka yang dibuang dari masyarakat, tidak ada tempat yang lebih baik dari pada sanggar ini. Selain itu pula, ini adalah tempat untuk belajar, bagi para teman-teman HIV/AIDS dan para keluarga yang mungkin ingin melihat bagaimana pengobatan berjalan, dan membiasakan mereka hidup bersama-sama, agar mereka dapat merawat anggota keluarga mereka yang memiliki penyakit ini.

Dalam pengasahan dan pengembangan itu pun dibutuhkan para fasilitator yang juga merupakan pekerja sosial dari beberapa orang yang menyempatkan waktu mereka untuk boleh menjaga dan merawat mereka yang dibuang. Dan diantara mereka ada pula yang ternyata HIV+ dan mendedikasikan hidupnya untuk melawat teman-teman yang lain, dan berjuang bersama melawan kerasnya kehidupan.

Dunia memang kejam, untuk beberapa hal yang sifatnya merugikan, dunia tidak segan untuk membuang mereka, menghilangkan eksistensi mereka. Pola pikir yang hanya menguntungkan diri sendiri. Rasionalkah pemikiran seperti itu? Rasional menurut saya, tetapi bukankah sebagai sesama insan manusia dan sebagai manusia ciptaan Yang Maha Esa, kita harus saling menolong dan mengasihi satu sama lain? Bukan membuang sesama kan?

Odha

Pada sebuah seminar di sebuah sekoalh di Bogor, salah satu pemberi materi bertanya kepada para peserta seminar, menurut kalian, diantara dua orang ini, yang mana yang mengidap HIV/AIDS? Terdapat dua gambar, gambar pertama adalah seorang laki-laki sedang melakukan aktivitas cheer leader dan memiliki ekspresi hampir seperti wanita, yang kedua adalah seorang kakek tua, dengan beberapa tatto, sedang memegang gitar layaknya seorang artis rock n’ roll.

Jawaban dari para peserta, hampir seluruhnya menunjuk laki-laki yang sedang melakukan cheer leader dengan ekspresi wajah seperti wanita sebagai seseorang yang mengidap HIV/AIDS.


Tapi, apakah benar seperti itu?

Kebanyakan masyarakat memiliki sebuah pandangan, bahwa hal-hal yang berkaitan dengan HIV/AIDS, akan selalu berkaitan dengan hal-hal yang menyimpang, contoh saja orang-orang transsexsual, homosexsual, orang-orang dengan pacaran yang tidak sehat, dan hal-hal lainnya.

Kenyataannya? Banyak beberapa dari mereka memiliki kehidupan yang bahagia dengan “penyimpangan” tersebut, dan mereka bebas dari HIV/AIDS. Tetapi, hal buruknya adalah, mereka kerap ditindas, didiskriminasi, karena mereka dianggap berbeda, sehingga mereka memiliki penyakit-penyakit tambahan lainnya (kebanyakan orang menganggap penyimpangan tersebut sebagai suatu penyakit) yaitu HIV/AIDS, atau penyakit seksual lainnya.

Don’t judge the book by its cover. Hal itulah yang seharusnya kita pikirkan dalam menghadapi permasalahn seperti ini. OdhA atau “Orang dengan HIV/AIDS” akan terlihat biasa-biasa saja di kehidupan sehari-hari, tidak ada yang bisa membedakan mereka. Saya mendapatkan kesimpulan seperti ini karena sebuah pengalaman yang NYATA.

Waktu itu, hari Rabu, dan saat itu saya beserta teman-teman dari YPI melakukan penyuluhan di sebuah sekolah di Jakarta, pada perjalanan pulang, beberapa teman-teman yang satu mobil bersama saya bercerita tentang efek samping dari obat HIV/AIDS. Setelah itu, salah seorang dari tim bercerita,”Iya, saya waktu pakai obat itu juga mengalami hal yang sama, untung segera ditangani, kalau nggak mungkin saya sudah meninggal.” Ternyata, selama hampir 4 jam kami melakukan penyuluhan, saya sudah berinteraksi dengan seseorang yang memiliki HIV positif, toh mereka biasa-biasa saja, dan hal yang dahsyatnya, mereka menjadi seseorang yang ikut MELAKUKAN penyuluhan bersama-sama dengan kami. Membantu mencegah PENYEBARAN HIV/AIDS. Dahsyat bukan?

Orang dengan HIV/AIDS kerap di diskirimansikan secara nyata, mereka sangat sulit mendapatkan pekerjaan, karena kerap diselipkan formulir asuransi yang mana apabila pada formulir itu kita mencentang kolom memiliki HIV/AIDS maka asuransi akan menolak karena tidak mau membantu biaya pengobatan, dan perusahaan otomatis tidak akan menerima. Dan apabila mereka ketahuan? Mereka mungkin saja akan dipecat, dikucilkan dalam tim, dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya. Hasilnya? Mereka menggelandang, bahkan untuk meneruskan pengobatan yang harganya hanya Rp. 30.000,- tiap bulan saja mereka mungkin tidak mampu.

Hal selanjutnya? Mereka menjadi depresi karena tidak ada yang mau menolong, dan mereka memutuskan untuk bunuh diri, padahal dengan pengobatan nyawa mereka masih dapat diperjuangkan untuk 10-15 tahun ke depan apabila Tuhan mengkehendaki.

Berbicara kembali tentang orang-orang dengan HIV/AIDS, saya sangat bangga dengan mereka yang memiliki penyakit ini, didiskriminasi di masyarakat, tapi tetap memperjuangkan hidup mereka, mencari nafkah untuk keluarga mereka, merawat anak-anak mereka, bahkan menjadi orang-orang yang memotivasi orang-orang yang belum terkena HIV/AIDS untuk memiliki sebuah gaya hidup sehat sehingga mereka boleh lepas dari HIV/AIDS.

Sebut saja Magic Johnson, seorang pebola basket terkenal, legenda hidup L.A. Lakers, di diagnosis dengan HIV/AIDS dan memaksa dia harus pensiun dari ajang olahraga basket terkenal dunia, NBA. Selama 20 tahun ia berjuang, dan dia berhasil hidup hingga sekarang, dan saat kita melihat dia, bagaimana dia terlihat? Bagi saya dia tetap gagah dengan setelan jas-nya saat menghadiri pertandingan L.A. Lakers, memiliki bisnis yang dahsyat, dan dia menunjukan komitmen dia untuk terus berjuang melawan HIV/AIDS dan mengajak semua orang untuk terlibat di dalamnya.

Saya bertanya kepada salah satu pasien di klinik YPI, “Apa tantangan terberat anda saat anda memiliki HIV/AIDS di masyarakat?” Pasien tersebut menjawab,”Dengan kondisi saya yang mana virus HIV ini sendiri sudah tidak terdeteksi setelah 5 tahun pengobatan, saya masih harus tetap berjuang agar orang-orang disekitar saya tidak tahu bahwa saya HIV positif. Karena saat mereka tahu saya adalah seorang HIV positif, mereka tidak akan segan untuk membuang dan mentelantarkan saya…”

Jawaban yang menyakitkan, jawaban yang menggetarkan hati, bahkan untuk berfoto bersama dengan saya pun, pasien tersebut menolak. Karena takut di sebar-luaskan dan mungkin ada beberapa dari mereka yang mengenal pasien.

Sebuah pengalaman yang menarik bertemu, berbincang dengan mereka yang memiliki HIV/AIDS, dan sebuah kebanggan melihat mereka berjuang bersama dengan diri mereka sendiri melawan penyakit yang merek derita, tetapi selain itu juga, mengajak masyarakat yang menekan mereka untuk mau bersama-sama mencegah penyebaran dari HIV/AIDS itu sendiri.

Seharusnya kita mencontoh mereka bukan?

Senin, 27 Juni 2011

Stigma

Sembilan belas tahun saya menjalani kehidupan, sembilan belas tahun melihat begitu banyak manusia, dan akhirnya saya melihat beberapa hal yang menarik dari sifat manusia.

Sifat, adalah sesuatu yang melekat, yang apabila terus menerus dilakukan akan menjadi sebuah kebiasaan dan karakter. Hal ini toh hanya akan mengatakan, sifat adalah sesuatu yang dapat dirubah.

Salah satu yang menarik dari sifat manusia adalah, hal yang baik akan kita kenang, tetapi hal yang buruk, akan melekat menjadi sebuah “stigma” yang membunuh kita perlahan. Membunuh, stigma menjadi sebuah tekanan yang mematikan bagi beberapa manusia. Beberapa melihat stigma sebagai sesuatu yang menjijikan, dan tidak pantas untuk dimiliki.

Bentuk dari stigma dapat bermacam-macam, salah satunya adalah penyakit. Penyakit yang satu ini menarik, baru timbul pada awal tahun 80-an, kita kenal dia dengan HIV/AIDS.

Penyakit yang satu ini, dianggap penyakit menyeramkan, karena tidak dapat disembuhkan, tetapi hal lain yang membuat penyakit ini menjadi suatu stigma, adalah karena transimisinya lewat hubungan sexs yang tidak aman, jarum suntik dan darah, serta plasenta. Permasalahannya adalah, hubungan sexs yang tidak aman terjadi paling sering pada pekerja seks komersial dan pria pria haus nafsu akan wanita, jarum suntik pada pengguna narkoba, dan plasenta pada ibu yang memiiki aids dan mengenai anaknya.

Penularannya terlihat seolah mudah, toh, penelitian jelas mengatakan hanya empat jalur ini saja yang dapat menularkan, tetapi masyarakat, hampir seluruhnya melihat sebagai penyakit yang mudah ditularkan, mengapa kanker ditakuti tetapi orang yang memiliki hal ini, masyarakat sekitar masih memberikan simpati dan dorongan? Sedangkan orang dengan HIV/AIDS? Simpati? Jangankan simpati, orang melihat mereka yang memiliki HIV/AIDS sebagai sesuatu yang menjijikan dan berbahaya? Dorongan? Simpati saja tidak ada, bagaimana untuk memberikan sebuah dorongan?

Hal baiknya adalah, itu tidak terjadi pada seluruh manusia, kita diberikan hati nurani, sebuah rasa empati dan kemampuan untuk boleh melihat dari sudut yang pandang yang berbeda.

Liburan kali ini ku isi dengan sebuah kegiatan untuk melihat dari sisi lain tersebut, melihat dari sisi seseorang dengan HIV/AIDS menghadapi kenyataan bahwa mereka ditekan dengan hal yang mereka punya, bagaimana mereka menghadapi hal tersebut, dan bagaimana melihat sisi lain orang-orang yang membagikan waktu, tenaga untuk memberikan dorongan, simpati, pengobatan.

And I have seen it in my first week, at Yayasan Pelita Ilmu. Still another three weeks in here, and will be a great experience

Rabu, 15 Juni 2011

HIV/AIDS



In the next two-three days, I will posted some mini journal for HIV/AIDS activity that I've been working for two weeks.

The concept will be four to five article and the last one simple documentation video that I really want to used it for social stuff, and campaign fighting HIV/AIDS

Reduce the Stigma, Encourage the People, and Fight the Disease!! and Especially thanks to YPI for giving me the opportunity to have a volunteering
work for one month!


Minggu, 29 Mei 2011

Reputation

Menjadi juara itu hanya satu hari. Reputasi, dapat dikenang sepanjang hidup. Sebuah kutipan dari seorang pemain sepak bola legendaris, Johan Cruyff.

Dia adalah seorang sosok yang gagal membawa Belanda menjadi sebuah tim terbaik dunia pada piala dunia 1974. Tapi dia adalah sosok seseorang yang membawa transformasi pada dunia persepak bolaan. Total Football, sebuah permainan yang akhirnya membawa Belanda dan dua klub yang dibinanya, Ajax dan Barcelona, menjadi sebuah tim dan klub yang memiliki kelas yang berbeda di dunia persepak bolaan eropa dan dunia.

Reputasi, adalah sebuah perbuatan atau tindakan yang akhirnya mendapatkan nama baik atau nama buruk.

Manusia memiliki sebuah kecenderungan yang unik. Hampir semua manusia memiliki kecenderungan ini, kita manusia selalu mengingat hal-hal yang buruk dan tidak akan pernah mengingat apapun yang dahsyat.

Andaikan orang X adalah seorang yang memiliki perusahaan besar, tetapi di balik itu ia adalah seseorang yang menyukai kehidupan malam dan narkoba, maka kehidupan dibalik layar itulah yang akan dikenang orang.

Dunia seolah memaksa kita untuk menjadi sosok yang sempurna, permasalahannya, tidak selamanya kita akan terus sempurna, akan ada satu masa dimana kita melakukan blunder, kesalahan-kesalahan kecil yang akhirnya berdampak buruk pada Reputasi.

Kekonyolan, ketidak-beruntungan, kerap memperburuk masalah.

Membangun reputasi adalah hal yang gampang-gampang susah, apalagi setiap manusia memiliki cara pandang yang berbeda.

Reputasi yang baik oleh orang A belum tentu di pandang baik oleh orang B

Lalu bagaimana? apabila segala sesuatunya serba salah.

Karakter mungkin akan membantu kita, segala sesuatunya ditentukan oleh karakter masing-masing kita manusia, dari cara kita mengambil sikap, berpikir, melihat dengan sudut pandang yang berbeda-beda

walau terkadang karakter yang baik tidak akan menjamin sebuah reputasi yang baik, siapa tau ketidak beruntungan menyertai.

Well, Luck play a role..