Berikan dengan ikhlas, hati yang tulus, tanpa mengharapkan imbalan. Itulah sebuah kalimat yang selalu kita ingat saat pelajaran kewarganegaraan diajarkan kepada setiap kita atau saat orang tua kita mengajarkan kita tentang memberi, menolong sesama kita.
Menolong menjadi satu kata yang terus menerus dikumandangkan dari kecil, satu perbuatan yang telah dititipkan dari Tuhan untuk diajarkan kepada kita lewat orang tua, guru, dan orang-orang bijak lainnya.
Seiring berkembangnya waktu, dan seiring berjalannya tahun dan perkembangan otak setiap orang, satu kata ini pun akhirnya tidak lagi bekerja sesuai artinya. Tolonglah tanpa rasa pamrih. Jangan pernah mengharapkan imbalan. Toh, ternyata entah lingkungan, atau waktu, atau perkembangan otak kita membuat kita memperhitungkan segalanya.
Perhitungan, itulah satu kata yang telah merasuki otak kita, terutama perhitungan akan uang dan harta. Yang mana telah menjadi satu kriteria penting untuk boleh menikmati hidup. Apakah tanpa uang dan harta kita tidak dapat menjadi seseorang yang bisa menikmati hidup?
Pekerjaan adalah sesuatu yang diburu oleh setiap orang yang masih produktif, bahkan di Singapura, para lansia masih dapat bekerja dengan menjadi tukang sapu, atau menjaga counter cashier makanan, salah seorang teman dari Singapura mengatakan itu mereka lakukan untuk mengisi waktu luang mereka yang relatif membosankan. Gaya kehidupan orang Singapura untuk terus bekerja membentu mereka seperti itu. Bayaran? Kecil mungkin, tapi mereka merasakan makna hidup mereka.
Begitu pula layaknya Lembaga Swadaya Masyarakat yang ada di Indonesia ini, hidup dari sokongan yayasan lain atau dari orang-orang yang memiliki penghasilan lebih dan membentuk LSM ini. Pertanyaannya bagaimana dengan orang-orang didalamnya? Adakah mereka yang mau mengabdi? Dengan tidak mengharapkan bayaran yang lebih dan harus bekerja mungkin lebih lama dari mereka yang bekerja di kantor-kantor…
Mungkin, mereka juga sudah memperhitungkan hal ini. Tetapi, ada satu hal yang saya percaya bahwa ada orang-orang yang di dalam LSM ini, mengabdikan hidup mereka dari LSM ini pertama dibentuk hingga sekarang. Saya yang mendapat kesempatan untuk boleh menjadi pekerja sosial tambahan, diberi kesempatan lebih untuk boleh membagikan apa yang saya miliki bersama LSM ini yaitu Yayasan Pelita Ilmu. Bahkan saya tidak diikat dengan jam-jam saya harus masuk jam sekian, pulang jam sekian, saya bebas berada di klinik dari jam berapa-pun, mengikuti seluruh program yang ada dari klinik dan LSM ini.
Satu bulan telah saya tempuh tepat pada hari ini. Dan saya tidak akan lagi berada di tempat ini untuk beberapa saat, saya akan merasakan kehilangan dengan teman-teman pekerja sosial lain, yang memiliki pekerjaan tetap tetapi masih memberikan waktu mereka untuk boleh terlibat dalam LSM ini dalam melawan HIV/AIDS, disamping saya yang mahasiswa kedokteran ini, ada teman-teman yang profesi-nya seorang guru, seorang fotografer, seorang event organizer, seorang MC PRJ kemayoran, seoarng penjaga gerbang tol, bagi mereka mungkin itu pekerjaan yang harus mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, tetapi mereka membagikan waktu mereka yang sedikit yang bebas tersebut untuk boleh membantu LSM ini melawan HIV/AIDS.
Ini memang penyakit yang sudah ada obat-nya, obat yang dapat memperpanjang nyawa hingga 10-15 tahun apabila diminum teratur dengan biaya administrasi hanya tiga puluh ribu rupiah, karena obat ini sudah gratis, tetapi toh ternyata masih banyak diantara mereka yang masih tidak mengerti akan penyakit ini. Bersyukur ada orang-orang seperti mereka yang memberikan waktu dan tidak mengharapkan imbalan untuk datang ke setiap sekolah setiap pagi untuk membagikan informasi, dan saat siang hari hingga sore mengurus hal-hal untuk program selanjutnya dan pada sore, sekitar jam tiga harus tetap menjaga klinik hingga para dokter selesai memberikan pengobatan kepada para teman-teman dengan HIV +
Sebuah perjuangan? Tentu, apakah mereka mengharapkan sesuatu? Tidak tentunya. Lalu bagaimana dengan kita? Apakah kita akan tetap mengatakan dan melakukan “tolonglah tanpa rasa pamrih” sesaat orang disekitar kita meminta tolong? Dan sekedar informasi, LSM ini tidak mempublikasikan diri mereka agar ada orang yang mau membantu. Para orang-orang yang membantu disini, adalah orang-orang yang murni membantu dengan menawarkan diri mereka.
Lalu, kalau mereka sudah bisa dan mampu menawarkan diri mereka untuk membantu tanpa menghitung-hitung. Bagaimana dengan kita?